Merebaknya pandemi Covid-19 awal tahun 2020, siapakah yang telah memprediksinya? Tak seorang pun. Kita semakin disadarkan bahwa memang kita sedang berada dalam era disruptif yang disebut V.U.C.A. (Volatility = kondisi bergejolak; Uncertainty = ketidakpastian; Complexity = kompleksitas; dan Ambiguity = ketidakjelasan). Satryo Soemantri Brodjonegoro (2020) mengatakan bahwa sejak pandemi seluruh tatanan kehidupan diluluhlantakkan dan tatanan pembelajaran berubah total dari konvensional menjadi online. Perubahan serentak ini tentunya tidak disertai dengan kesiapan dari pihak pendidik—guru, dosen, dan orangtua, bahkan peserta didik. Ada yang mempopulerkan singkatan O2O (Offline to Online) di masa pandemi. Apakah akan menjadi terbalik (Online to Offline) saat memasuki new normal?
Istilah online learning atau e-learning sudah lama muncul sejak ICT (Information and Communication Technology) diterapkan di bidang pendidikan. Namun karena banyak kelemahan dari online yang diterapkan secara murni, maka muncullah sebuah pendekatan baru yang disebut blended learning (BL). Pendekatan BL lebih disukai peserta didik, karena memberikan rasa memiliki dan komunitas (Tayebinik & Puteh, 2012). Preferensi ini diafirmasi berdasarkan penelitian Izzah dan Amalia (2016) dari UNM (Universitas Negeri Malang) bahwa BL dinyatakan sebagai model yang sangat disukai untuk interaksi kelas dalam era globalisasi ini, karena “Blended learning mengkombinasikan antara pembelajaran tatap muka dengan online learning.” Dalam suatu studi sebelumnya tentang blended learning di perguruan tinggi, disimpulkan bahwa pendekatan BL adalah cara yang paling efisien dan efektif dalam proses belajar-mengajar di level perguruan tinggi di tengah dunia global yang sangat kompetitif dan akseleratif ini. Diharapkan dengan penerapan BL, institusi-institusi perguruan tinggi dapat meningkatkan kondisi dan benefit pembelajaran (Kumar, 2013). Selanjutnya, Kumar mengatakan bahwa blended learning akan berevolusi.
Ibrahim dan Nat (2019) berkata dalam artikelnya di International Journal of Educational Technology in Higher Education, “Currently, blended learning (BL) is trending among higher education institutions (HEIs) around the globe.” Pada masa pandemi ini, model BL semakin diadopsi dan semakin banyak diterapkan secara aktif di seluruh penjuru dunia ini. Model BL dijadikan sebuah model tradisional yang baru, atau normal baru dalam praktek belajar-mengajar, dengan memaksimalkan penggunaan dua lingkungan pembelajaran, yaitu tatap muka dan online (Astudillo, 2020).
Pendekatan BL juga telah diterapkan di sekolah tinggi teologi. Muanley (2020) mengungkapkan tentang inovasi metode BL di Sekolah Tinggi Teologi IKSM Santosa Asih. Menurutnya, sangat disayangkan bahwa STT-STT di Indonesia masih jarang yang mengubah metode pembelajaran konvensional ke pembelajaran masa depan atau BL. Dibandingkan dengan Amerika, Woodruff (2019) melaporkan bahwa STT-STT yang tergabung dalam ATS (Association of Theological Schools) sudah mulai menawarkan kelas-kelas online sejak tahun 2001, namun tidak semuanya berjalan lancar. Dia melaporkan bahwa STT Golden Gate Baptist Theological Seminary yang diubah namanya menjadi Gateway Seminary berbarengan dengan perpindahan ke lokasi baru, ternyata baru berhasil menawarkan mata kuliah online pada tahun 2006. Dengan kerja keras mengembangkan pendekatan pembelajarannya, tahun 2016 mereka berhasil menawarkan mata kuliah-mata kuliah hybrid dengan jadwal yang lebih fleksibel. Demi meningkatkan pembelajaran mahasiswanya, Gateway Seminary telah mendistribusikan sebuah dokumen yang disebut “Best Practices for Blended Learning” bagi semua jajaran dosennya.
Menyikapi seluruh konstalasi perubahan menuju era new normal, muncul dorongan kuat bagi para profesional pendidikan tinggi untuk mengakomodasi cara belajar yang baru dari para mahasiswa. Tongpoon-Patanasorn & White mengatakan dalam Universal Journal of Educational Research (2020):
“Due to technological disruptions, higher education professionals have been required and encouraged to provide a learning environment that better meets the new way students are learning and to demonstrate the effectiveness of such a program. The new teaching and learning paradigm and environment must be able to engage learners to enhance students’ abilities to attain higher levels of learning and thinking. The current suggested practice within higher education is blended, or hybrid learning. Blended learning, which is one form of flipped classroom, is also referred as the ‘new normal model’, the ‘new normal’, or the ‘new normal with emerging technologies’ in the delivery of higher education courses. It is believed to be the future of education.”
Dorongan senada diungkapkan oleh Anita Lie berdasarkan hasil riset berkelanjutan bersama rekan-rekannya (Anita Lie et al., 2020), agar di tengah disrupsi pembelajaran, ketakutan pendidik terhadap teknologi justru semestinya memunculkan kesadaran akan keharusan untuk menguasainya dan belajar mengeksplorasi cara-cara mengintegrasikannya ke dalam praktek pedagogi.
Pertanyaan terakhir adalah bagaimana respon STTB menjawab seluruh tantangan ini, agar pendidikan teologi lebih relevan serta lebih memfasilitasi cara belajar baru dari mahasiswa STT seiring perkembangan baru dari ICT? Pra-pandemi kami sempat memulai kelas online di salah satu program studi S2, namun berlanjut secara total semua perkuliahan menjadi online untuk prodi S1 dan S2 saat pandemi. Ke depan memasuki normal baru, STTB akan menghadirkan model pembelajaran BL khususnya bagi program studi S2 (M.Th., M.Pd., M.Min. Pastoral Leadership dan M.Min. Marketplace). Langkah-langkah konkret yang diambil adalah mengatur ulang rasio SKS untuk kelas online dan tatap muka, menawarkan jadwal yang lebih fleksibel, membuka pilihan kelas-kelas sit-in yang lebih banyak, serta memperlengkapi jajaran dosen dengan keterampilan menerapkan teknologi baru.