English English Bahasa Indonesia Indonesia
20 August 2020

Menjalani Kehidupan di Era “NEW NORMAL”

Oleh Sutrisna Harjanto, Ph.D.

Ketua Sekolah Tinggi Teologi Bandung; Dosen Bidang Pendidikan & Marketplace; Penulis Buku “The Development of Vocational Stewardship among Indonesian Christian Professionals”
Manusia diciptakan untuk menjadi subyek perubahan, bukan sebaliknya. Sebagai makhluk yang diciptakan segambar dengan Allah, dan diberi tugas untuk meneruskan karya Allah dalam mengembangkan peradaban (Kej 1:27-28), manusia diberikan kemampuan untuk berpikir, mempelajari dan mengelola situasi yang terus berubah, dan mengembangkannya lebih jauh.

Selengkapnya

Manusia diciptakan untuk menjadi subyek perubahan, bukan sebaliknya. Sebagai makhluk yang diciptakan segambar dengan Allah, dan diberi tugas untuk meneruskan karya Allah dalam mengembangkan peradaban (Kej 1:27-28), manusia diberikan kemampuan untuk berpikir, mempelajari dan mengelola situasi yang terus berubah, dan mengembangkannya lebih jauh.

Pandemi Covid-19 merupakan suatu major disruption yang telah menghentikan berbagai aktivitas manusia di seluruh dunia mulai dari bekerja, belajar, bepergian, hingga beribadah. Bukan hanya itu, Covid juga memaksa terjadinya perubahan pola hidup yang drastis. Sebagian akan bersifat sementara, setidaknya hingga vaksin ditemukan, seperti halnya physical distancing, protokol cuci tangan, dll. Namun sebagian akan menetap seperti halnya budaya berkomunikasi dan beraktivitas secara online.

 

Saat wabah mulai mereda kita perlu kembali beraktivitas secara fisik agar roda ekonomi dan roda sosial bisa kembali bergerak. Namun seperti yang diungkapkan oleh banyak pihak, kita tidak akan bisa kembali ke cara hidup sebelum pandemi Covid. Meskipun bentuk konkritnya masih dalam proses di mana kita semua sedang mengkonstruksinya, faktanya kita semua sedang bergerak untuk menjalani hidup dengan kesetimbangan baru yang disebut new normal.Adakah prinsip-prinsip yang bisa kita pegang dalam memasuki era new normal tersebut? Berikut ini beberapa prinsip sederhana berdasarkan refleksi dari beberapa bagian Alkitab.

 

1. Esensial vs Non Essential

 

Satu contoh perubahan besar yang menyebabkan new normal bagi umat Allah dalam masa PL adalah ketika Kerajaan Yehuda (Israel Selatan) kalah perang dan hidup sebagai orang jajahan di Babel, seribu kilometer dari tempat asal mereka, selama puluhan tahun. Ibadah yang tadinya terpusat di Bait Allah di Yerusalem tidak mungkin lagi dilakukan. Perubahan konteks sosial yang masif dan drastis tersebut memaksa umat Allah untuk menggali lebih dalam akan makna ibadah melampaui tradisi yang sudah mereka warisi ratusan tahun sebelumnya. Mereka perlu membedakan mana yang esensial dan mana yang bisa berubah sesuai konteks situasi yang baru. Sebagai hasilnya, muncullah inovasi bentuk ibadah yang baru. Ibadah yang penuh ritus di Bait Allah yang megah berubah bentuk menjadi perkumpulan-perkumpulan kecil untuk menaikkan doa dan membaca Taurat di sinagoge-sinagoge yang tersebar di berbagai tempat di tanah pembuangan.

 

Respon umat Allah di PL dalam menghadapi perubahan besar yang mereka alami tersebut bisa menginspirasi tentang pentingnya keterbukaan dan kreativitas dalam menjajaki cara-cara baru untuk melakukan ibadah, bersekutu, formasi spiritualitas, hingga aspek-aspek hidup yang lain, dalam memasuki masa new normal. Kita perlu menggali lebih dalam akan makna ibadah dan berbagai hal esensial lain dan mencoba melakukannya dengan cara-cara lain yang paling efektif, di tengah keterbatasan interaksi fisik yang masih akan berlangsung setidaknya hingga satu-dua tahun mendatang.

 

2. Unlearn to Relearn

 

Dalam masa PB contoh perubahan besar yang menyebabkan new normal adalah ketika Injil tersebar ke dunia non-Yahudi. Pertumbuhan signifikan jumlah jemaat non-Yahudi memaksa terjadinya perubahan paradigma yang mendasar tentang siapa yg bisa disebut umat Allah dan bagaimana mereka harus hidup. Perubahan ini sedemikian besar, sehingga menimbulkan kebingungan dan resistensi dari orang-orang Kristen yang berlatar belakang Yahudi. Bagi mereka, seperti yang mereka ketahui selama ini, siapapun yg mau menjadi umat Allah harus mengikuti hukum-hukum Perjanjian Lama dan tata cara orang Yahudi, seperti sunat, aturan tentang makanan, dll. Kontroversi tersebut terus berlangsung sejak jemaat non-Yahudi pertama muncul di Antiokhia (Kis 15:1-34) hingga bertahun-tahun kemudian seperti yang sangat jelas tampak dalam surat Rasul Paulus kepada jemaat Galatia.

 

Mengapa hal ini bisa terjadi? Hambatan terbesar dalam menjalani pola hidup yang baru seringkali bukan berasal dari kesulitan untuk mempelajari (to learn) hal baru itu sendiri. Hambatan terbesar seringkali berasal dari ketidakmampuan atau ketidakmauan untuk melepaskan (to unlearn) cara berpikir dan cara hidup lama yang sudah melekat erat dengan hidup kita. Dalam kisah di PB tadi hal ini terjadi karena jemaat berlatar belakang Yahudi sulit untuk melepaskan cara pandang lama terhadap realita yang baru. Mereka terjebak dalam cara pandang PL dalam mendefinisikan identitas dan cara hidup umat Allah di era PB.

 

Pelajaran yang bisa ditarik dari sini adalah bahwa dalam memasuki konteks new normal, setelah memilah antara yang esensial dan yang tidak esensial, selanjutnya dibutuhkan disiplin untuk melepaskan diri dari berbagai bentuk pola pikir dan pola hidup lama agar pola pikir dan cara hidup yg baru yg bisa dikembangkan. Insight yang bisa ditarik dari bagian ini bukan hanya untuk kehidupan bergereja. Pentingnya unlearn to relearn dibutuhkan dalam berbagai aspek kehidupan. Sebagai contoh, kita perlu belajar untuk melepaskan paradigma lama yang menilai bahwa perjumpaan secara fisik pasti lebih efektif daripada perjumpaan secara online. Dengan demikian kita akan lebih siap untuk menjajaki berbagai kemungkinan untuk mengembangkan interaksi secara online dengan tanpa harus mengorbankan kualitas relasi yang ingin dicapai. Prinsip serupa selanjutnya bisa dikembangkan dalam berbagai aspek lain seperti halnya dalam bersekutu, bekerja, dan belajar secara optimal dengan memanfaatkan perkembangan teknologi digital.

3. Inovatif vs Survival

 

Perubahan adalah bagian yang alamiah dari perjalanan hidup manusia, secara individu maupun komunal, kecil atau besar. Namun, manusia diciptakan untuk menjadi subyek perubahan, bukan sebaliknya. Sebagai makhluk yang diciptakan segambar dengan Allah, dan diberi tugas untuk meneruskan karya Allah dalam mengembangkan peradaban (Kej 1:27-28), manusia diberikan kemampuan untuk berpikir, mempelajari dan mengelola situasi yang terus berubah, dan mengembangkannya lebih jauh. Demikian juga dalam menghadapi perubahan masif dan mendadak karena pandemi Covid, kita perlu menyadari kapasitas dan tugas yang Tuhan percayakan untuk terus mengem-bangkan kehidupan sosial dan budaya di tengah konteks situasi yang baru.

 

Konon menurut mereka yang mengerti bahasa Mandarin, kata “weiji” (= krisis) dalam bahasa Mandarin terdiri dari dua komponen, yaitu “wei” (= bahaya) dan “ji” (= kesempatan). Ini menyiratkan bahwa dalam setiap krisis yang terjadi selalu ada peluang/ kesempatan baik yang datang bersama dengan bahaya yang kita hadapi. Kasadaran akan adanya dua sisi yang datang bersama dalam krisis Covid yang sedang melanda dunia bisa menolong kita untuk berpindah dari sekedar survival menuju inovatif. Ada banyak kesempatan baik yang tidak muncul sebelumnya. Raker online, ibadah online, persekutuan doa online, dan berbagai kesempatan mengikuti pembelajaran online lewat webinar maupun kelas-kelas online dengan tanpa terkendala faktor jarak dan dengan biaya yang sangat murah.

 

Bagi STTB, kesempatan untuk mengembangkan pembelajaran online “dipaksa” datang lebih cepat oleh pandemi Covid. Bukan 2-3 tahun lagi, melainkan perlu dilakukan sekarang. Beberapa kelas S2 di STTB sudah langsung dialihkan ke format online sejak April sebagai langkah awal. Namun di sisi lain STTB melihat bahwa sikap yg perlu dikembangkan bukanlah sekedar survival menyelenggarakan kelas-kelas online secara terpaksa dan seadanya, melainkan sebagai satu kesempatan untuk segera mengembangkan pembelajaran online yang dapat meminimalkan hambatan jarak, waktu, dan biaya, dengan kualitas yang tetap terjaga. Dengan demikian, pendidikan teologi yang berkualitas dapat dinikmati oleh lebih banyak orang. Bersyukur untuk beberapa kelas yang sudah berjalan dengan baik dan mendapatkan respon sangat positif dari mereka yang mengikuti sebagai mahasiswa penuh maupun pendengar (Sit In). Ini menjadi modal awal untuk semakin mengembangkan pendidikan teologi secara online, terutama untuk program studi S2, baik M.Th., M.Pd., maupun M.Min., sehingga mahasiswa yg berasal dari luar kota, dan bahkan luar Indonesia bisa mengikuti perkuliahan yang ada. Bagi mahasiswa S1, STTB juga sudah menyiapkan pembelajaran secara online, baik untuk kemungkinan berlangsung hanya separuh semester atau satu semester penuh hingga akhir tahun.

 

Menggenggam Paradoks Kehidupan

 

Memasuki era new normal kita perlu belajar menggenggam paradoks antara kesehatan dan produktivitas. Kita tidak bisa memilih salah satu. Kita membutuhkan keduanya untuk melanjutkan kehidupan kita. Roda ekonomi dan roda sosial perlu terus berjalan. Namun dibutuhkan kewaspadaan tinggi dan protokol yang ketat untuk melakukan berbagai hal dengan aman.

 

Sesuai dengan panggilan yang Tuhan percayakan, kita masing-masing bisa terus berpartisipasi dalam maha karya Allah yang sedang terus mengembangkan dan mentransformasi dunia ciptaan-Nya dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam memasuki era new normal. Bukan hanya sekedar untuk survival, melainkan dengan kemampuan untuk terus bekreasi dan berinovasi untuk mewujudkan shalom dan pengenalan akan Allah di berbagai bidang kehidupan. Kiranya Tuhan memberkati dan melindungi kita sekalian dalam memasuki era new normal!

 

Posting Terkait

Buletin #54 September 2023

Pendidikan Teologi yang Holistik & Transformatif Setelah lima tahun mata kuliah Teologi Kerja diajarkan di prodi-prodi STTB muncul pola yang menarik untuk diamati. Di kelas M.Min. Marketplace materi yang dipelajari sejak hari pertama langsung disambut dengan...

read more
Buletin STTB #52 Agustus 2023

Buletin STTB #52 Agustus 2023

Equiping The Whole Church for The Whole World! Edward Farley (1983) memetakan pendidikan teologi dalam sejarah gereja ke dalam tiga model dasar, yaitu: model biara (formasi spiritualitas dalam komunitas), model universitas (akademis), dan model klerikal (pendidikan...

read more