English English Bahasa Indonesia Indonesia
20 August 2021

Pendidikan Teologi Di Tengah Dunia Yang Sedang Berubah

Oleh

Ketua Sekolah Tinggi Teologi Bandung; Dosen Bidang Pendidikan & Marketplace; Penulis Buku “The Development of Vocational Stewardship among Indonesian Christian Professionals”
Kita hidup di tengah dunia yang terus berubah, karena perkembangan adalah bagian dari rancangan Allah bagi dunia ciptaan-Nya (Kej 1:27-28). Demikian juga perkembangan teknologi berpengaruh pada pendidikan teologi di sepanjang zaman hingga di era digital saat ini. Pada saat yg sama kita juga hidup di tengah dunia yang dari waktu ke waktu mengalami disruption karena tatanan shalom yang terkoyak setelah manusia jatuh dalam dosa (Kej 3). Bencana alam, peperangan, dan wabah penyakit seringkali mempengaruhi refleksi teologis dan proses pendidikan teologi di sepanjang zaman.

Selengkapnya

Kita hidup di tengah dunia yang terus berubah, karena perkembangan adalah bagian dari rancangan Allah bagi dunia ciptaan-Nya (Kej 1:27-28). Demikian juga perkembangan teknologi berpengaruh pada pendidikan teologi di sepanjang zaman hingga di era digital saat ini. Pada saat yg sama kita juga hidup di tengah dunia yang dari waktu ke waktu mengalami disruption karena tatanan shalom yang terkoyak setelah manusia jatuh dalam dosa (Kej 3). Bencana alam, peperangan, dan wabah penyakit seringkali mempengaruhi refleksi teologis dan proses pendidikan teologi di sepanjang zaman.

Di masa pandemi saat ini kita mengalami perkembangan dan disruption secara bersamaan. Teknologi digital yang memungkinkan dilakukannya berbagai aktivitas keseharian dan kehidupan bergereja secara online menghadirkan beragam solusi terobosan di tengah berbagai keterbatasan melakukannya secara tatap muka. Namun seiring dengan berbagai terobosan tersebut, muncul pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan kajian teologis untuk memaknai komitmen hidup bergereja, kehidupan bersekutu, formasi spiritualitas, sakramen perjamuan kudus, dan beragam hal lain dalam konteks budaya digital.

 

Tulisan Darell Bock, pakar Perjanjian Baru, dalam buku Virtual Reality Church menjadi salah satu contoh upaya yang bisa menjadi rujukan. Peran pendidikan teologi di STT dan pembinaan jemaat merupakan hal lain yang tidak kalah pentingnya untuk memandu perubahan yang terjadi. Apa yang bisa menjadi jangkar bagi kehidupan iman dan pendidikan teologi di tengah perubahan yang sedemikian masif saat ini? Jangkar yang kokoh di tengah perubahan terletak di dalam diri Allah yang tidak berubah.

 

Seorang pakar pendidikan teologi, Benhard Ott, dalam tulisannya Understanding and Developing Theological Education, mengatakan bahwa esensi pendidikan teologi adalah pendidikan yang berpusat pada Allah, Firman Allah, dan misi Allah.

 

1. Pendidikan yang berpusat pada pengenalan akan Allah Pendidikan teologi memiliki jangkar yang kokoh di tengah perubahan bila setia berfokus pada pendidikan untuk pengenalan akan Allah yang benar, yang sudah menyatakan diri-Nya dalam sejarah, seperti yang terdokumentasikan dalam catatan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Allah yang juga terus menyatakan diri di dalam sejarah umat-Nya hingga saat ini. Pengenalan yg dimaksud adalah pengenalan yang relasional dengan Allah sebagai subyek (I-Thou), bukan sekadar pengetahuan dengan Allah sebagai obyek kajian semata (I-It). Pengenalan relasional melalui pendidikan teologi seharusnya membawa hidup kita menyatu dengan kehendak-Nya, sukacita-Nya, keprihatinan-Nya, dan menghasilkan hidup yang berbuah lebat. “Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.” (Yoh 15:5) Di tengah perubahan drastis yang sedang terjadi, tantangan saat ini adalah bagaimana pendidikan teologi berinkarnasi ke dalam budaya digital untuk menolong mahasiswa STT maupun jemat di gereja dan parachurch untuk mengalami perjumpaan dengan Allah, tumbuh dalam pengenalan akan Allah, dan mengalami hidup yang ditransformasi oleh pengenalan tersebut untuk dapat mentransformasi kehidupan di sekitarnya.

 

2. Pendidikan yang berpusat pada Firman Allah Tantangan di tengah dunia yang makin terkoneksi secara global saat ini adalah kehidupan bermasyarakat yang majemuk dalam hal etika, budaya maupun keyakinan iman. Ketika berusaha menjadi relevan dan toleran, tanpa fondasi dan pemahaman yang baik sangat mudah kita tergelincir ke dalam sikap kompromi dan kehilangan jati diri. Oleh karena itu pendidikan teologi yang berpusat pada Firman Allah sangat penting untuk meletakkan fondasi iman yang kokoh dalam diri para pemimpin Kristen di tengah gereja dan masyarakat. Semua perlengkapan yang dibutuhkan untuk mempelajari Kitab Suci secara utuh dan mendalam, untuk dapat ditarik relevansinya ke dalam kehidupan masa kini, perlu mendapat prioritas dalam pendidikan teologi.

 

Namun mereka yang belajar teologi makin mendalam punya tantangan tersendiri, untuk tidak menjadikan Kitab Suci hanya sebagai objek kajian untuk sebuah paper akademis atau bahan kotbah, melainkan memberi diri untuk Firman Tuhan mentransformasi cara berpikir, dan cara hidupnya.

Paradigma yang terbentuk di tengah dunia yang dicemari dosa (total depravity) tidak otomatis berubah total ketika seseorang menjadi percaya. Sehingga komitmen untuk mempersembahkan hidup bagi kemuliaan Allah tidak bisa dilepaskan dari keharusan mengalami pembaruan/ transformasi akal budi dengan Firman Allah (Rom 12:1-2).

 

Dibutuhkan satu disiplin tersendiri agar proses pembelajaran dalam pendidikan teologi bukan hanya disi dengan aktivitas di mana Kitab Suci ditempatkan sebagai objek kajian melainkan juga kita memberi diri sebagai objek yang ditransformasi oleh Kitab Suci . “Ingatlah juga bahwa dari kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus. Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.” (2 Tim 3:15-16)

 

3. Pendidikan yang berpusat pada misi Allah Pendidikan teologi tidak dimaksudkan untuk melatih kelompok elit yang akan tinggal di menara gading untuk memperdebatkan hal-hal yang tidak berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Juga bukan dimaksudkan untuk mengajarkan tips dan trick menjadi kelompok elite keagamaan. Panggilan bagi pendidikan teologi terungkap dalam kalimat sederhana dari Riad Kassis, mantan Direktur ICETE (Asosiasi Ssekolah Teologi Injili Ssedunia): “Does seminary training make a difference in the church, community and society?” Pendidikan teologi yg baik terkait sangat erat dengan misi, seperti diungkapkan oleh T. Schirmacher: “Practical mission work always begin with healthy, foundational doctine and Bible study; and healthy, foundational teaching will always lead to practical mission work.” Misi yang dimaksud perlu dipahami bukan sebatas program misi ataupun departemen misi gereja, melainkan misi Allah seutuhnya untuk menebus dan memulihkan seluruh dunia ciptaan-Nya yang sudah jatuh dalam dosa. Seperti yang terungkap dalam Lausanne Manifesto (1974) yang digagas John Sott dan Billy Graham: the whole gospel, to the whole world, by the whole church Pendidikan teologi pada dasarnya adalah pendidikan yang memperlengkapi umat Allah untuk menghadirkan berita Injil seutuhnya dalam seluruh aspek kehidupan manusia di tengah dunia. Gereja adalah basis untuk umat Allah diperlengkapi dan dikonsolidasi untuk tugas tersebut. Tantangan bagi sekolah teologi adalah supaya tidak terjebak pada pandangan yang sempit untuk memperlengkapi para pemimpin kristen hanya untuk kebutuhan internal di dalam gereja. Sekolah teologi perlu memperlengkapi para pemimpin dan calon pemimpin kristen di tengah gereja dan masyarakat, agar umat Allah dapat memenuhi panggilannya sebagai garam dan terang di tengah dunia (Mat 5:13-16). Bukan garam yang terkumpul di toples dan bukan terang yang tersembunyi di bawah gantang, melainkan kehadiran yang transformatif, menghadirkan cicipan Kerajaan Allah yang menghadirkan kehidupan berkelimpahan, keadilan, kebenaran, kasih, dan sukacita di tengah segala bentuk kekacauan yg terjadi di dunia yang jatuh dalam dosa. Di tengah perubahan situasi sedemikian drastis yang sedang terjadi, pendidikan teologi perlu menghasilkan para pemimpin Kristen seperti Daniel dan kawan-kawannya di Babel yang bisa melihat kedaulatan Allah di tengah konteks yang sangat berbeda dan bahkan terus berubah, dan memiliki komitmen tanpa kompromi hanya kepada Allah dan pengabdian tanpa pamrih kepada sesama di mana pun mereka ditempatkan untuk menjadi berkat.

Posting Terkait

Buletin #54 September 2023

Pendidikan Teologi yang Holistik & Transformatif Setelah lima tahun mata kuliah Teologi Kerja diajarkan di prodi-prodi STTB muncul pola yang menarik untuk diamati. Di kelas M.Min. Marketplace materi yang dipelajari sejak hari pertama langsung disambut dengan...

read more
Buletin STTB #52 Agustus 2023

Buletin STTB #52 Agustus 2023

Equiping The Whole Church for The Whole World! Edward Farley (1983) memetakan pendidikan teologi dalam sejarah gereja ke dalam tiga model dasar, yaitu: model biara (formasi spiritualitas dalam komunitas), model universitas (akademis), dan model klerikal (pendidikan...

read more